- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
- Lazismu dan PAS Band Kampanye Berbagi via Gathering Camp
- Lazismu Salurkan Bantuan via Program Save Our School
- Filantropi Energi untuk Musibah Mati Listrik Global
- Solidaritas Umat dan Diplomasi Kemanusiaan BAZNAS dalam Tragedi Gempa Myanmar
- Dai Ambasador Dompet Dhuafa, Dakwah hingga Mancanegara
Jurnalisme Profetik di Era Digital: Mengembalikan Kepercayaan Publik di Tengah Krisis Media
Oleh: Fatea Failasufa

Keterangan Gambar : Meta AI
Dalam beberapa tahun terakhir, media massa mengalami penurunan signifikan dalam hal kepercayaan dan jumlah audiens. Hal ini beriringan dengan meningkatnya penggunaan media sosial sebagai sumber utama informasi masyarakat. Jurnalisme profetik, sebagai pendekatan etis dalam dunia jurnalistik, menawarkan solusi moral dalam menghadapi tantangan era digital. Konsep ini mengacu pada pandangan Kuntowijoyo (1997) tentang transformasi sosial berbasis nilai-nilai kenabian: humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Jurnalisme profetik bertujuan mengembalikan fungsi media sebagai alat pencerahan dan pembebasan masyarakat dari ketidakadilan (Kuntowijoyo, 1997). Namun, seiring berkembangnya era digital, media konvensional justru mengalami krisis eksistensial akibat menurunnya kepercayaan publik dan migrasi audiens ke platform digital. Menurut laporan Reuters Institute Digital News Report (2023), hanya 38% responden yang masih mempercayai berita dari media arus utama, sementara lebih dari 50% beralih ke media sosial sebagai sumber utama informasi.
Dalam perspektif teori agenda-setting (McCombs & Shaw, 1972), media konvensional yang gagal beradaptasi dengan preferensi digital masyarakat kehilangan kemampuannya untuk membentuk opini publik. Fenomena ini diperparah oleh teori mediamorphosis (Fidler, 1997) yang menyatakan bahwa setiap perubahan teknologi akan mengubah struktur dan fungsi media.
Baca Lainnya :
- Sedekah 10 Malam Terakhir Ramadhan: Waktu Terbaik Meraih Pahala Berlipat0
- Kajian Zakat Fitrah: Hukum, Waktu, dan Cara Pembagiannya0
- ZMart, Berbagi Berkah Ramadan melalui Akses Kebutuhan Pokok yang Terjangkau0
- BAZNAS Microfinance : Membuka Peluang Usaha Baru di Bulan Ramadhan0
- Santripreneur: Mewujudkan Wirausaha Santri di Bulan Penuh Berkah0
Sebagai contoh nyata, kebangkrutan beberapa media zakat berbasis cetak dan daring menunjukkan bagaimana masyarakat mulai beralih dari media yang bersifat satu arah ke platform interaktif. Lembaga-lembaga filantropi Islam yang dahulu mengandalkan media massa kini lebih banyak berinvestasi pada media sosial dan influencer dalam menyebarluaskan kampanye mereka. Kasus ini menguatkan tesis bahwa media yang gagal mengadopsi teknologi digital akan terpinggirkan.
Dalam teori komunikasi demokratis, media tradisional sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi karena perannya sebagai pengawas kekuasaan. Namun, dengan hadirnya media sosial, muncul konsep baru yang dikenal sebagai "pilar kelima" demokrasi (Nolan, 2020), di mana masyarakat memiliki kendali lebih besar dalam produksi dan distribusi informasi. Hal ini terlihat dalam meningkatnya citizen journalism, di mana masyarakat tidak lagi bergantung pada media konvensional untuk mendapatkan berita.
Untuk tetap relevan, media massa perlu mengadopsi prinsip-prinsip jurnalisme profetik dengan memanfaatkan teknologi digital secara lebih inklusif. Model bisnis yang lebih adaptif, integrasi kecerdasan buatan dalam proses editorial, dan keterlibatan aktif audiens dapat menjadi solusi untuk mempertahankan eksistensi media. Dengan demikian, jurnalisme profetik tidak hanya menjadi solusi etis tetapi juga strategis dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap media.