- Baznas Lombok Timur Apresiasi Para Muzaki
- Sultan Deli XIV Jadi Duta Zakat dan Wakaf
- Korporasi Pro Israel Tebar Pesona CSR untuk Palestina
- Bela Palestina Bergemuruh di Negara NATO
- Bank Aceh Berzakat ke Baitul Mal Abdya Rp 500 Juta
- Potensi Zakat Kaltim Rp6 T, Baru Terhimpun Rp20 M
- Potensi Zakat Profesi ASN Lumajang Rp10 M per Tahun
- UIN Datokarama Manfaatkan Zakat untuk Beasiswa Cemerlang
- Indahnya Sabar
- Baznas Salurkan Program Z-Auto di Kulonprogo
Lumbung Perdamaian
Nurlaila Azizah

Keterangan Gambar : Foto:Asistensi AI
Di Desa Sinar Rejeki panen padi selalu membawa suka cita,
namun kebahagiaan itu hanya sebentar. Hampir semua hasil panen jatuh ke tangan
Haji Musa, juragan kaya yang membeli dengan harga murah lalu menimbunnya untuk
dijual mahal di musim paceklik. Petani kecil kian terjepit, sementara gudangnya
penuh beras.
Arif, pemuda desa, resah melihat penderitaan. Ia teringat
pesan ayahnya: “Rezeki bukan hanya milik kita, Nak. Ada hak fakir miskin di
dalamnya.” Maka dengan hati-hati ia menegur Haji Musa, mengingatkan tentang
zakat, sedekah, dan wakaf. Namun sang juragan marah, menolak keras, bahkan
menganggap Arif hanya sok tahu. Kata-kata itu menghantam hati Arif, tapi ia
memilih menahan diri.
Keadaan desa semakin buruk. Harga beras melambung, banyak
keluarga kelaparan. Arif lalu mengajak para pemuda dan petani kecil membuat
lumbung sedekah. Mereka mengumpulkan zakat padi, infak, dan sedekah
seikhlasnya. Meski sedikit, beras itu mampu memberi makan fakir miskin. Senyum
mulai kembali di wajah warga, dan berita lumbung sedekah menyebar luas.
Beberapa orang kaya lain pun ikut menyalurkan zakat dan wakaf.
Baca Lainnya :
- Berkah yang Terselubung0
- Air Mata di Balik Sedekah Seorang Nenek0
- Ketika Cinta Tanah Air Menjadi Sedekah untuk Bumi0
- Reinkarnasi Bandung Lautan Api0
- Tiga Malam untuk Selembar Merah Putih0
Namun keberhasilan itu membuat Haji Musa tersulut amarah. Ia
merasa dipermalukan oleh seorang pemuda desa. “Kau kira bisa menandingi aku?”
hardiknya. Ketegangan makin besar, hingga suatu malam lumbung sedekah terbakar
habis. Warga panik dan langsung menuduh Haji Musa. Dengan membawa obor, mereka
mengepung rumahnya, menuntut balas.
Arif berlari menahan mereka. “Jangan! Jangan balas api
dengan api!” teriaknya. Tetapi massa nyaris tak terkendali. Untunglah Ustaz
Karim datang, mengingatkan bahwa zakat dan sedekah adalah ibadah, bukan senjata
untuk dendam. Perlahan warga mereda.
Keesokan harinya, setelah diperiksa, ternyata kebakaran
disebabkan lampu minyak, bukan ulah Haji Musa. Warga malu, Arif pun tertunduk
menyesal karena tak mampu mencegah kecurigaan. Namun peristiwa itu justru
meluluhkan hati Haji Musa. Ia mendatangi Arif dengan wajah lelah. “Maafkan aku.
Selama ini aku hanya mengejar untung, buta terhadap penderitaan. Mulai hari ini
separuh padiku akan kuserahkan untuk lumbung sedekah, bahkan satu gudang akan
aku wakafkan untuk desa.”
Arif terharu mendengarnya. “Alhamdulillah, Haji. Bukan aku
yang kau ikuti, tapi ajaran Islam. Kita semua hanya perantara rezeki Allah.”
Sejak saat itu, Desa Sinar Rejeki berubah. Lumbung sedekah
tumbuh besar, dikelola bersama dengan amanah. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf
bukan lagi sekadar kata-kata, tetapi nyata membantu masyarakat: beras gratis
untuk fakir miskin, bibit untuk petani kecil, hingga beasiswa anak-anak desa.
Warga yang sempat terpecah kini kembali bersatu.
Di sore yang teduh, Arif memandang sawah menghijau sambil
mengingat pesan ayahnya. Ia kini benar-benar paham: harta yang ditimbun hanya
menimbulkan sengketa, tapi harta yang dibagi membawa berkah dan perdamaian.
