Lumbung Perdamaian
Nurlaila Azizah

By Yudhiarma 20 Agu 2025, 14:25:01 WIB Cerpen
Lumbung Perdamaian

Keterangan Gambar : Foto:Asistensi AI


Di Desa Sinar Rejeki panen padi selalu membawa suka cita, namun kebahagiaan itu hanya sebentar. Hampir semua hasil panen jatuh ke tangan Haji Musa, juragan kaya yang membeli dengan harga murah lalu menimbunnya untuk dijual mahal di musim paceklik. Petani kecil kian terjepit, sementara gudangnya penuh beras.

Arif, pemuda desa, resah melihat penderitaan. Ia teringat pesan ayahnya: “Rezeki bukan hanya milik kita, Nak. Ada hak fakir miskin di dalamnya.” Maka dengan hati-hati ia menegur Haji Musa, mengingatkan tentang zakat, sedekah, dan wakaf. Namun sang juragan marah, menolak keras, bahkan menganggap Arif hanya sok tahu. Kata-kata itu menghantam hati Arif, tapi ia memilih menahan diri.

Keadaan desa semakin buruk. Harga beras melambung, banyak keluarga kelaparan. Arif lalu mengajak para pemuda dan petani kecil membuat lumbung sedekah. Mereka mengumpulkan zakat padi, infak, dan sedekah seikhlasnya. Meski sedikit, beras itu mampu memberi makan fakir miskin. Senyum mulai kembali di wajah warga, dan berita lumbung sedekah menyebar luas. Beberapa orang kaya lain pun ikut menyalurkan zakat dan wakaf.

Baca Lainnya :

Namun keberhasilan itu membuat Haji Musa tersulut amarah. Ia merasa dipermalukan oleh seorang pemuda desa. “Kau kira bisa menandingi aku?” hardiknya. Ketegangan makin besar, hingga suatu malam lumbung sedekah terbakar habis. Warga panik dan langsung menuduh Haji Musa. Dengan membawa obor, mereka mengepung rumahnya, menuntut balas.

Arif berlari menahan mereka. “Jangan! Jangan balas api dengan api!” teriaknya. Tetapi massa nyaris tak terkendali. Untunglah Ustaz Karim datang, mengingatkan bahwa zakat dan sedekah adalah ibadah, bukan senjata untuk dendam. Perlahan warga mereda.

Keesokan harinya, setelah diperiksa, ternyata kebakaran disebabkan lampu minyak, bukan ulah Haji Musa. Warga malu, Arif pun tertunduk menyesal karena tak mampu mencegah kecurigaan. Namun peristiwa itu justru meluluhkan hati Haji Musa. Ia mendatangi Arif dengan wajah lelah. “Maafkan aku. Selama ini aku hanya mengejar untung, buta terhadap penderitaan. Mulai hari ini separuh padiku akan kuserahkan untuk lumbung sedekah, bahkan satu gudang akan aku wakafkan untuk desa.”

Arif terharu mendengarnya. “Alhamdulillah, Haji. Bukan aku yang kau ikuti, tapi ajaran Islam. Kita semua hanya perantara rezeki Allah.”

Sejak saat itu, Desa Sinar Rejeki berubah. Lumbung sedekah tumbuh besar, dikelola bersama dengan amanah. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf bukan lagi sekadar kata-kata, tetapi nyata membantu masyarakat: beras gratis untuk fakir miskin, bibit untuk petani kecil, hingga beasiswa anak-anak desa. Warga yang sempat terpecah kini kembali bersatu.

Di sore yang teduh, Arif memandang sawah menghijau sambil mengingat pesan ayahnya. Ia kini benar-benar paham: harta yang ditimbun hanya menimbulkan sengketa, tapi harta yang dibagi membawa berkah dan perdamaian.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment