- Baznas Lombok Timur Apresiasi Para Muzaki
- Sultan Deli XIV Jadi Duta Zakat dan Wakaf
- Korporasi Pro Israel Tebar Pesona CSR untuk Palestina
- Bela Palestina Bergemuruh di Negara NATO
- Bank Aceh Berzakat ke Baitul Mal Abdya Rp 500 Juta
- Potensi Zakat Kaltim Rp6 T, Baru Terhimpun Rp20 M
- Potensi Zakat Profesi ASN Lumajang Rp10 M per Tahun
- UIN Datokarama Manfaatkan Zakat untuk Beasiswa Cemerlang
- Indahnya Sabar
- Baznas Salurkan Program Z-Auto di Kulonprogo
Aqeela, Aksara Tanpa Kata
Olivia Fitrianih

Keterangan Gambar : Dok: Asistensi AI
Aqeela duduk di barisan depan dengan jemari yang tak henti menggenggam buku catatan kecil. Di sana berderet huruf-huruf isyarat yang sudah berminggu-minggu ia pelajari. Sesekali ia melirik ke belakang panggung, tempat sahabatnya, Rose, sedang bersiap. Jantung Aqeela berdetak kencang, seakan dirinya yang akan tampil di hadapan ratusan pasang mata.
Beberapa bulan lalu, ia bahkan
tak mengenal dunia bahasa isyarat. Pertemuan pertamanya dengan Rose mengubah
segalanya. Saat itu Rose menyapanya dengan tangan, sementara Aqeela hanya
terdiam kikuk, tidak tahu harus membalas apa. Namun tatapan mata Rose yang
hangat menyalakan tekad dalam diri Aqeela: ia harus belajar, ia harus bisa
memahami.
Sejak saat itu, malam-malamnya
diisi dengan menonton video pembelajaran, menghafal abjad jari, hingga mencoba
menyusun kalimat sederhana. Tangannya sering kaku, sering salah, dan kadang
rasa frustrasi membuatnya ingin menyerah. Tapi Rose selalu sabar. Ia memberi
semangat dengan senyum dan tawa, bahkan ketika Aqeela keliru. “Tidak apa-apa.
Yang penting kamu mau mencoba,” begitu isyarat Rose suatu hari. Kata-kata itu
menjadi bahan bakar keberanian Aqeela.
Baca Lainnya :
- Denyut Kemanusiaan dari Detak Jantung Kebajikan0
- Padi untuk Negeri0
- Rezeki yang Terbagi, Hati yang Tersambung0
- Retak yang Berubah Menjadi Cahaya0
- Amarah ke Berkah: Kisah Haru Dua Sahabat0
Aqeela masih ingat betul malam
pertama ia berani menggunakan bahasa isyarat di hadapan Rose. Mereka duduk di
kantin sepi, dan dengan tangan yang gemetar, Aqeela mencoba mengisyaratkan kata
teman. Gerakannya salah, lebih mirip kata makan. Rose terkejut
sejenak, lalu tertawa lepas. Bukannya marah, Rose malah menepuk bahu Aqeela dan
dengan sabar memperbaiki gerakannya. Saat itulah Aqeela merasa bahwa bahasa
isyarat bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan untuk mendekatkan
hati.
Hari-hari berikutnya ia terus
berlatih. Setiap kali salah, Rose tidak pernah menunjukkan kesal. Justru dari
senyum dan ketulusan sahabatnya itu, Aqeela semakin yakin bahwa setiap usaha
kecil pun punya arti besar. Dan pada akhirnya, kesempatan untuk melihat makna
bahasa isyarat yang sesungguhnya datang di sebuah acara peringatan penting di
sekolah mereka.
Acara dibuka oleh kepala sekolah.
Suaranya bergema di seluruh aula, penuh wibawa.
“Hari ini kita memperingati sesuatu yang sangat berharga. Bahasa isyarat adalah
hak komunikasi bagi semua teman tuli. Lebih dari itu, bahasa isyarat adalah
simbol bahwa setiap manusia berhak dipahami. Mari kita jadikan perbedaan ini
sebagai kekuatan, bukan jarak.”
Tepuk tangan membahana, namun
Aqeela hanya setengah mendengar. Pikirannya terpaut pada Rose, yang sebentar
lagi akan naik ke panggung.
Ketika akhirnya tiba gilirannya,
Rose melangkah maju dengan tenang. Ia berdiri tegak di tengah panggung, menatap
penonton dengan senyum tulus. Tanpa suara, tangannya mulai bergerak. Setiap
gerakan menyusun cerita, menyampaikan isi hati yang dalam. Di layar samping
panggung, terjemahan kata-katanya terpampang jelas:
“Bahasa isyarat adalah suara
hati kami. Dengannya kami tertawa, marah, menangis, dan mencinta. Bahasa
isyarat membuat kami merasa diakui. Hari ini, aku ingin kalian percaya:
komunikasi tidak mengenal batas. Yang ada hanya niat untuk saling mengerti.”
Ruangan mendadak hening. Semua
mata terpaku pada Rose. Gerakannya seolah menari, menyulam makna yang tak
sekadar dilihat, tapi juga dirasakan. Bahkan mereka yang tak paham bahasa
isyarat bisa menangkap ketulusan itu.
Aqeela merasakan matanya panas.
Ia ikut menggerakkan tangan, menirukan beberapa isyarat sederhana yang
diingatnya. Meski canggung, ia merasa seakan ikut bicara bersama Rose,
menyuarakan hal yang sama: keinginan untuk dipahami.
Pidato selesai, aula bergemuruh
dengan tepuk tangan. Guru, siswa, hingga orang tua yang hadir berdiri memberi
penghormatan. Rose menunduk singkat, lalu turun dari panggung dengan wajah
berbinar.
Aqeela segera menghampirinya.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia memberi isyarat sederhana: hebat.
Rose tertawa kecil, membalas dengan isyarat: terima kasih.
“Kamu luar biasa,” ucap Aqeela
pelan.
Rose menatapnya, seolah mendengar meski tanpa telinga, lalu mengisyaratkan: Aku
senang kamu ada di sini.
Hati Aqeela hangat. Ia sadar,
persahabatan ini adalah jembatan kecil yang menghubungkan dua dunia yang
berbeda—dunia suara dan dunia keheningan.
Sore itu, selepas acara, mereka
duduk di taman sekolah. Angin berembus lembut, menggoyangkan daun-daun yang
bergemerisik. Aqeela membuka catatannya, menunjukkan pada Rose huruf-huruf
isyarat baru yang semalam ia pelajari. Rose tersenyum bangga, lalu dengan sabar
mengoreksi gerakan Aqeela yang masih keliru.
“Kenapa kamu mau repot-repot
belajar?” tanya Rose dengan isyarat, penuh penasaran.
Aqeela terdiam sejenak, lalu
menjawab dengan suara yang lirih sambil menirukan isyarat sederhana:
“Karena aku ingin jadi sahabatmu. Sahabat berarti saling mengerti, kan?”
Rose menunduk, matanya berkilat
oleh air bening yang nyaris jatuh. Ia membalas dengan isyarat pelan: sahabat
selamanya.
Keheningan sejenak melingkupi
mereka, hanya suara burung sore yang terdengar. Aqeela menatap langit yang
mulai berubah jingga. Ia sadar, pertemuannya dengan Rose bukan kebetulan. Hari
ini, ia bukan hanya belajar bahasa baru, melainkan juga belajar arti kesabaran,
ketulusan, dan keberanian untuk melintasi batas yang tak kasat mata.
Rose menggenggam tangan Aqeela
sebentar, lalu mengisyaratkan: Kamu tidak hanya belajar untukku. Kamu sedang
membuka jalan bagi banyak orang.
Aqeela mengangguk, hatinya penuh tekad. Dalam diam ia berjanji, suatu hari ia
akan mengajarkan bahasa isyarat pada lebih banyak orang agar dunia tak lagi
terbelah oleh kebisuan.
Senja melabuhkan warnanya,
menyulap langit menjadi keemasan. Di antara cahaya lembut itu, dua sahabat
duduk berdampingan. Mereka tahu, Hari Bahasa Isyarat Internasional bukan
sekadar peringatan, melainkan janji—janji untuk terus belajar, membuka hati, dan
menjadi jembatan antara suara yang terdengar dan suara yang terlihat.
