Aqeela, Aksara Tanpa Kata
Olivia Fitrianih

By Revolusioner 17 Sep 2025, 10:15:54 WIB Cerpen
Aqeela, Aksara Tanpa Kata

Keterangan Gambar : Dok: Asistensi AI


Aqeela duduk di barisan depan dengan jemari yang tak henti menggenggam buku catatan kecil. Di sana berderet huruf-huruf isyarat yang sudah berminggu-minggu ia pelajari. Sesekali ia melirik ke belakang panggung, tempat sahabatnya, Rose, sedang bersiap. Jantung Aqeela berdetak kencang, seakan dirinya yang akan tampil di hadapan ratusan pasang mata.

Beberapa bulan lalu, ia bahkan tak mengenal dunia bahasa isyarat. Pertemuan pertamanya dengan Rose mengubah segalanya. Saat itu Rose menyapanya dengan tangan, sementara Aqeela hanya terdiam kikuk, tidak tahu harus membalas apa. Namun tatapan mata Rose yang hangat menyalakan tekad dalam diri Aqeela: ia harus belajar, ia harus bisa memahami.

Sejak saat itu, malam-malamnya diisi dengan menonton video pembelajaran, menghafal abjad jari, hingga mencoba menyusun kalimat sederhana. Tangannya sering kaku, sering salah, dan kadang rasa frustrasi membuatnya ingin menyerah. Tapi Rose selalu sabar. Ia memberi semangat dengan senyum dan tawa, bahkan ketika Aqeela keliru. “Tidak apa-apa. Yang penting kamu mau mencoba,” begitu isyarat Rose suatu hari. Kata-kata itu menjadi bahan bakar keberanian Aqeela.

Baca Lainnya :

Aqeela masih ingat betul malam pertama ia berani menggunakan bahasa isyarat di hadapan Rose. Mereka duduk di kantin sepi, dan dengan tangan yang gemetar, Aqeela mencoba mengisyaratkan kata teman. Gerakannya salah, lebih mirip kata makan. Rose terkejut sejenak, lalu tertawa lepas. Bukannya marah, Rose malah menepuk bahu Aqeela dan dengan sabar memperbaiki gerakannya. Saat itulah Aqeela merasa bahwa bahasa isyarat bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan untuk mendekatkan hati.

Hari-hari berikutnya ia terus berlatih. Setiap kali salah, Rose tidak pernah menunjukkan kesal. Justru dari senyum dan ketulusan sahabatnya itu, Aqeela semakin yakin bahwa setiap usaha kecil pun punya arti besar. Dan pada akhirnya, kesempatan untuk melihat makna bahasa isyarat yang sesungguhnya datang di sebuah acara peringatan penting di sekolah mereka.

Acara dibuka oleh kepala sekolah. Suaranya bergema di seluruh aula, penuh wibawa.
“Hari ini kita memperingati sesuatu yang sangat berharga. Bahasa isyarat adalah hak komunikasi bagi semua teman tuli. Lebih dari itu, bahasa isyarat adalah simbol bahwa setiap manusia berhak dipahami. Mari kita jadikan perbedaan ini sebagai kekuatan, bukan jarak.”

Tepuk tangan membahana, namun Aqeela hanya setengah mendengar. Pikirannya terpaut pada Rose, yang sebentar lagi akan naik ke panggung.

Ketika akhirnya tiba gilirannya, Rose melangkah maju dengan tenang. Ia berdiri tegak di tengah panggung, menatap penonton dengan senyum tulus. Tanpa suara, tangannya mulai bergerak. Setiap gerakan menyusun cerita, menyampaikan isi hati yang dalam. Di layar samping panggung, terjemahan kata-katanya terpampang jelas:

“Bahasa isyarat adalah suara hati kami. Dengannya kami tertawa, marah, menangis, dan mencinta. Bahasa isyarat membuat kami merasa diakui. Hari ini, aku ingin kalian percaya: komunikasi tidak mengenal batas. Yang ada hanya niat untuk saling mengerti.”

Ruangan mendadak hening. Semua mata terpaku pada Rose. Gerakannya seolah menari, menyulam makna yang tak sekadar dilihat, tapi juga dirasakan. Bahkan mereka yang tak paham bahasa isyarat bisa menangkap ketulusan itu.

Aqeela merasakan matanya panas. Ia ikut menggerakkan tangan, menirukan beberapa isyarat sederhana yang diingatnya. Meski canggung, ia merasa seakan ikut bicara bersama Rose, menyuarakan hal yang sama: keinginan untuk dipahami.

Pidato selesai, aula bergemuruh dengan tepuk tangan. Guru, siswa, hingga orang tua yang hadir berdiri memberi penghormatan. Rose menunduk singkat, lalu turun dari panggung dengan wajah berbinar.

Aqeela segera menghampirinya. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia memberi isyarat sederhana: hebat.
Rose tertawa kecil, membalas dengan isyarat: terima kasih.

“Kamu luar biasa,” ucap Aqeela pelan.
Rose menatapnya, seolah mendengar meski tanpa telinga, lalu mengisyaratkan: Aku senang kamu ada di sini.

Hati Aqeela hangat. Ia sadar, persahabatan ini adalah jembatan kecil yang menghubungkan dua dunia yang berbeda—dunia suara dan dunia keheningan.

Sore itu, selepas acara, mereka duduk di taman sekolah. Angin berembus lembut, menggoyangkan daun-daun yang bergemerisik. Aqeela membuka catatannya, menunjukkan pada Rose huruf-huruf isyarat baru yang semalam ia pelajari. Rose tersenyum bangga, lalu dengan sabar mengoreksi gerakan Aqeela yang masih keliru.

“Kenapa kamu mau repot-repot belajar?” tanya Rose dengan isyarat, penuh penasaran.

Aqeela terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang lirih sambil menirukan isyarat sederhana:
“Karena aku ingin jadi sahabatmu. Sahabat berarti saling mengerti, kan?”

Rose menunduk, matanya berkilat oleh air bening yang nyaris jatuh. Ia membalas dengan isyarat pelan: sahabat selamanya.

Keheningan sejenak melingkupi mereka, hanya suara burung sore yang terdengar. Aqeela menatap langit yang mulai berubah jingga. Ia sadar, pertemuannya dengan Rose bukan kebetulan. Hari ini, ia bukan hanya belajar bahasa baru, melainkan juga belajar arti kesabaran, ketulusan, dan keberanian untuk melintasi batas yang tak kasat mata.

Rose menggenggam tangan Aqeela sebentar, lalu mengisyaratkan: Kamu tidak hanya belajar untukku. Kamu sedang membuka jalan bagi banyak orang.
Aqeela mengangguk, hatinya penuh tekad. Dalam diam ia berjanji, suatu hari ia akan mengajarkan bahasa isyarat pada lebih banyak orang agar dunia tak lagi terbelah oleh kebisuan.

Senja melabuhkan warnanya, menyulap langit menjadi keemasan. Di antara cahaya lembut itu, dua sahabat duduk berdampingan. Mereka tahu, Hari Bahasa Isyarat Internasional bukan sekadar peringatan, melainkan janji—janji untuk terus belajar, membuka hati, dan menjadi jembatan antara suara yang terdengar dan suara yang terlihat.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment