Denyut Kemanusiaan dari Detak Jantung Kebajikan
Firda Nurhalizah

By Revolusioner 17 Sep 2025, 10:10:53 WIB Cerpen
Denyut Kemanusiaan dari Detak Jantung Kebajikan

Keterangan Gambar : Foto: Asisten AI


Hari itu, 29 September, halaman sebuah masjid di Depok dipenuhi senyum dan tawa. Sejak pagi, sekelompok pemuda-pemudi dengan pakaian serba putih sibuk menata meja, kursi, dan sebuah kotak besar berisi potongan kertas berbentuk hati merah. Sementara dua orang bapak berdiri di samping mereka, memegang bendera putih bergambar jantung merah dengan garis detak di tengahnya.

Udara sore terasa hangat, bukan hanya karena sinar matahari, tetapi juga karena semangat yang memancar dari wajah semua orang. Mereka berkumpul untuk memperingati World Heart Day atau Hari Jantung Sedunia. Namun acara itu tidak sekadar tentang kesehatan tubuh, melainkan juga tentang kesehatan hati dan kepedulian sosial.

“Teman-teman, ingat ya,” kata Farhan, koordinator relawan, “Setiap hati merah yang kita bagikan hari ini bukan hanya simbol. Ia membawa pesan bahwa jantung kita akan lebih kuat bila kita saling berbagi. Dan lewat zakat, infak, serta sedekah, kita bisa menyalurkan detak kebaikan itu kepada mereka yang membutuhkan.”

Baca Lainnya :

Dina, seorang relawan perempuan, tersenyum sambil mengambil beberapa potongan kertas hati. Ia menyerahkannya kepada Alya yang duduk di dekat kotak besar.

“Alya, tolong terima ya, nanti warga bisa menuliskan doa di hati-hati ini sebelum memasukkannya ke kotak. Biar doa mereka menyatu dengan amal.”

“MasyaAllah, indah sekali idenya,” jawab Alya.

Tidak lama kemudian, warga mulai berdatangan. Ada ibu-ibu yang membawa anak kecil, ada bapak-bapak paruh baya, ada pula remaja masjid yang ikut membantu. Suasana berubah ramai, namun tetap tertib. Satu per satu orang mendekati meja, menerima potongan hati merah, lalu menuliskan doa sederhana: doa untuk kesehatan, doa untuk keluarga, doa untuk para penderita penyakit jantung yang berjuang di rumah sakit.

“Bu, doa Ibu mau dititipkan apa?” tanya Dina dengan lembut kepada seorang perempuan tua yang tangannya bergetar saat memegang pulpen.
“Saya berdoa semoga jantung saya diberi kekuatan,” jawabnya dengan suara lirih. “Dokter bilang saya harus operasi, tapi biaya terlalu besar. Semoga ada jalan.”

Mata Dina berkaca-kaca. Ia tahu, sebagian dana zakat yang terkumpul lewat program ini memang ditujukan untuk membantu pasien jantung dari keluarga kurang mampu. Ia lalu menggenggam tangan perempuan itu. “InsyaAllah, Bu. Lembaga zakat di sini sedang menggalang dana untuk membantu kasus-kasus seperti Ibu. Semoga doa ini menjadi langkah awalnya.”

Sementara itu, Ustaz Rahman yang memimpin acara memberikan tausiah singkat.
“Saudara-saudaraku,” ucapnya, “jantung adalah amanah Allah yang harus kita jaga. Tapi ada jantung lain yang tak kalah penting: jantung kemanusiaan. Jika ia berhenti berdetak, maka hilanglah kepedulian. Zakat adalah denyutnya, infak adalah nadinya, dan sedekah adalah darah yang mengalir. Dengan filantropi Islam, kita menjaga agar jantung umat ini terus hidup.”

Kata-kata itu membuat suasana hening sejenak. Semua orang seperti merenung. Di tangan mereka ada hati merah kecil, tapi di dalam dada mereka ada jantung yang bergetar oleh rasa syukur dan kepedulian.

Acara dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan gratis. Para dokter muda dari fakultas kedokteran setempat datang sebagai relawan. Mereka memeriksa tensi darah, detak jantung, kadar gula, dan kolesterol. Bagi warga yang butuh obat, lembaga zakat sudah menyiapkan paket bantuan. Semua dilakukan tanpa biaya sepeser pun.

“Alhamdulillah, tensi Bapak normal. Tapi kolesterol agak tinggi. Hati-hati dengan makanan berlemak, ya,” ujar seorang dokter muda sambil tersenyum.
Bapak itu mengangguk dengan lega. “Terima kasih, Nak. Kalau bayar di rumah sakit, saya mana sanggup.”

Di pojok lain, Alya menatap penuh kagum ke arah kotak amal yang kini sudah setengah penuh dengan hati merah berisi doa. Ia membayangkan betapa setiap doa itu akan bersatu dengan zakat dan sedekah, lalu mengalir menjadi bantuan nyata untuk orang-orang yang membutuhkan.

Sore semakin larut, acara ditutup dengan doa bersama. Semua peserta, relawan, dan warga berdiri membentuk lingkaran besar. Ustaz Rahman memimpin doa dengan suara yang bergetar penuh harap.

“Ya Allah, sehatkanlah jantung kami, baik jantung tubuh maupun jantung hati. Jadikan zakat kami sebagai penyembuh bagi mereka yang sakit, jadikan sedekah kami sebagai cahaya bagi mereka yang kesulitan, dan jadikan infak kami sebagai penguat bagi mereka yang hampir putus asa.”

Air mata beberapa orang jatuh, bukan karena sedih, melainkan karena tersentuh oleh kebersamaan yang jarang mereka rasakan.

Setelah doa selesai, para relawan masih sempat bercanda sambil membereskan perlengkapan. Farhan tertawa kecil ketika melihat seorang adik kecil berlari membawa potongan hati merah terakhir.

“Dek, mau ditulis dulu doanya?” tanya Farhan.
Anak kecil itu menggeleng, lalu menjawab polos, “Nggak usah, Kak. Hati ini buat Ayah saya. Dia sakit di rumah.”

Semua terdiam sejenak. Lalu, tanpa banyak kata, Dina mengambil hati itu dan meletakkannya di kotak amal dengan penuh rasa haru.

Di perjalanan pulang, Alya menuliskan catatan kecil di buku harian yang selalu ia bawa:
“Hari Jantung Sedunia kali ini membuatku sadar bahwa jantung yang sehat bukan hanya yang berdenyut di tubuh kita, tetapi juga yang berdenyut dalam kepedulian. Setiap zakat yang dikelola lembaga amil zakat adalah detak kebaikan. Selama ada orang yang rela berbagi, maka selama itu pula jantung kemanusiaan akan tetap hidup, penuh cinta, penuh harapan.”

Dan di bawah langit senja, hati semua orang yang hadir sore itu berdetak dengan irama yang sama: irama kebaikan yang tidak akan pernah berhenti.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment