Warisan Terakhir Nenek Rahmah
Khesya Putri Pratama Dhavira

By Revolusioner 10 Okt 2025, 09:06:19 WIB Cerpen
Warisan Terakhir Nenek Rahmah

Keterangan Gambar : Asisten AI


Langit sore itu kelabu. Di antara rintik hujan yang jatuh perlahan, Aisyah duduk di sisi ranjang neneknya yang terbaring lemah. Wajah Nenek Rahmah tampak pucat, namun senyum hangatnya masih sama seperti dulu teduh dan menenangkan.
“Jangan sedih, Nak. Hidup ini bukan tentang berapa lama kita bernapas, tapi seberapa banyak kebaikan yang bisa kita titipkan,” bisiknya dengan suara pelan.

Beberapa jam kemudian, setelah adzan Magrib berkumandang, Nenek Rahmah menghembuskan napas terakhirnya. Aisyah menangis dalam diam. Bagi gadis itu, nenek bukan sekadar keluarga, tapi juga sumber nilai, doa, dan kasih tanpa batas.

Tiga hari setelah pemakaman, Aisyah menemukan sebuah kotak kayu tua di lemari neneknya. Di dalamnya, ada buku catatan kecil, sejumlah uang yang dibungkus rapi, dan sepucuk surat dengan tulisan tangan yang sudah mulai pudar.

Baca Lainnya :

Aisyah sayang, ini tabungan kecil nenek selama bertahun-tahun menjahit mukena. Nenek ingin uang ini disalurkan melalui BAZNAS. Mereka tahu ke mana harta ini seharusnya pergi untuk membantu orang-orang yang tak seberuntung kita. Jangan anggap ini peninggalan, tapi titipan amal jariyah. Semoga kelak engkau pun menanam kebaikan yang tak berhenti meski tubuh telah tiada.”

Aisyah menahan tangis. Ia tak menyangka, di tengah kesederhanaannya, neneknya masih sempat memikirkan orang lain. Ia lalu membawa kotak itu ke kantor BAZNAS di kota kecilnya. Petugas yang menerima kedatangannya menyambut dengan lembut.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Insya Allah, amal almarhumah akan menjadi pahala yang terus mengalir,” ucap petugas itu sembari mencatat nama Nenek Rahmah ke dalam daftar donatur program Sedekah Produktif. Dana tersebut akan digunakan untuk membantu usaha kecil milik janda dan keluarga yatim.


Beberapa bulan kemudian, Aisyah mendapat undangan dari BAZNAS untuk menghadiri peresmian warung kecil milik seorang ibu tunggal di kampung seberang. Di depan warung yang diberi nama “Warung Rahmah”, ibu itu meneteskan air mata.
“Kalau bukan karena bantuan ini, saya tak tahu bagaimana harus bertahan. Semoga Allah membalas kebaikan siapa pun yang telah menolong,” katanya haru.

Aisyah tersenyum dalam diam. Ia menatap papan nama sederhana itu, dan hatinya seakan mendengar suara neneknya lagi:

“Memberi bukan karena kita punya lebih, tapi karena kita tahu rasanya kekurangan.”

Sejak hari itu, Aisyah memutuskan untuk meneruskan jejak sang nenek. Ia mulai aktif menjadi relawan BAZNAS, membantu menyalurkan zakat dan sedekah ke pelosok desa. Setiap kali menyalami orang-orang yang terbantu, ia merasa seperti sedang menyentuh kasih neneknya yang masih hidup dalam setiap kebaikan itu.


Beberapa tahun kemudian, Aisyah berdiri di depan rumah baru hasil program Zakat Community Development yang diresmikan BAZNAS. Rumah itu didedikasikan untuk para lansia dhuafa. Di atas pintunya, terpampang papan kayu bertuliskan:
“Rumah Rahmah Dari Sedekah yang Tak Pernah Padam.”

Air mata Aisyah menetes. Ia sadar, warisan sejati bukanlah harta atau benda, melainkan amal yang terus hidup.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment