Dentang Terakhir Telegraf
Olivia Fitrianih

By Revolusioner 22 Sep 2025, 14:43:16 WIB Cerpen
Dentang Terakhir Telegraf

Keterangan Gambar : Dok: Asistensi AI


Di sebuah kota kecil yang kini ramai dengan suara dering ponsel dan notifikasi pesan instan, berdirilah sebuah bangunan tua bercat krem. Papan kayunya sudah pudar, tetapi tulisan besar Kantor Pos, Telekomunikasi, dan Telegraf masih kokoh terbaca. Bagi sebagian orang, bangunan itu hanyalah peninggalan masa lalu. Namun bagi Pak Mohan, kepala kantor yang sudah puluhan tahun mengabdi di sana, gedung itu adalah saksi dari jutaan kisah manusia.

Hari itu, 27 September, kantor PTT kembali tampak hidup. Para pegawai, yang sebagian besar kini bertugas di layanan pos modern, berkumpul untuk memperingati Hari Pos Telekomunikasi Telegraf. Balon warna-warni dipasang di depan, dan sebuah papan besar bertuliskan “Mengenang Jejak PTT, Merangkai Masa Depan Komunikasi” berdiri tegak.

Di tengah acara, seorang siswi SMA bernama Aqeela maju dengan rasa penasaran. Ia bertanya pada Pak Mohan,
“Pak, apa sih istimewanya telegraf? Bukankah sekarang orang lebih cepat pakai WhatsApp atau e-mail?”

Baca Lainnya :

Pak Mohan tersenyum, lalu mengajaknya masuk ke dalam ruang arsip. Di sana tersimpan mesin telegraf tua, dengan kabel dan tombol yang sudah berkarat. Beliau berkata pelan, “Dulu, Nak, mesin ini adalah jembatan hati. Dengan ketukan-ketukan kecil, kabar gembira atau berita duka bisa menyeberang ribuan kilometer hanya dalam hitungan menit. Bayangkan, di masa orang hanya mengandalkan surat berhari-hari, telegraf terasa seperti mukjizat.”

Aqeela menatap mesin itu kagum. “Jadi, dulu orang menunggu kabar di kantor ini, Pak?” tanyanya.

“Benar,” jawab Pak Mohan sambil tersenyum getir. “Aku masih ingat, ada seorang ibu yang setiap pagi duduk di bangku depan, menanti kabar anaknya yang berlayar. Ketika akhirnya kabar datang lewat telegraf, tangisnya pecah—bukan karena sedih, tapi karena lega. Itulah kekuatan PTT: membawa rasa, bukan sekadar kata.”

Suasana hening sejenak. Aqeela pun mengangguk, hatinya hangat. Ia menyadari, teknologi mungkin berubah, tapi esensi komunikasi tetap sama menghubungkan hati manusia.

Ketika acara peringatan selesai, Aqeela menulis sepucuk surat singkat dan memasukkannya ke dalam kotak pos. “Untuk Ayah dan Ibu,” tulisnya, “terima kasih sudah selalu ada.”

Pak Mohan yang melihat itu hanya tersenyum. Ia tahu, meski telegraf telah tiada, semangat PTT akan terus hidup di setiap bentuk komunikasi manusia.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment