Klethek Harapan dari Karangwaru
Oleh: Pudji Mardiriani

By Pudji Mardiriani2 21 Apr 2025, 14:15:45 WIB Cerpen
Klethek Harapan dari Karangwaru

Keterangan Gambar : Gambar diilustrasikan oleh AI chatgpt.com


Suara kompor menyala pelan di sudut dapur rumah sederhana berwarna hijau di Kelurahan Karangwaru. Azizatus Sholichah, perempuan paruh baya dengan kerudung sederhana dan mata penuh semangat, tengah mengaduk-aduk adonan ketela dengan takaran yang sudah ia hafal di luar kepala. Setiap adonan yang ia buat bukan hanya berasal dari resep warisan ibunya, tapi juga dari doa-doa yang ia selipkan di setiap irisan ketela.

Sejak suaminya meninggal lima tahun lalu karena sakit jantung, Azizah menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus menghidupi dua anak yang masih duduk di bangku sekolah. Dulu, ia hanya membuat camilan klethek sekadarnya, dititipkan di warung tetangga dengan keuntungan yang nyaris tak cukup membeli beras. Tapi semuanya berubah sejak datangnya bantuan dari BAZNAS.

Azizah menoleh ke sudut ruangan, tempat timbangan merah tuanya berdiri tegak. Di sebelahnya, tumpukan plastik berisi camilan klethek yang siap dipasarkan. Sekarang, camilan itu bukan sekadar pengisi etalase warung, tapi sudah mulai masuk ke toko oleh-oleh dan bahkan dipesan dalam jumlah besar menjelang Lebaran.

Baca Lainnya :

“Bu, timbangan ini masih kuat nggak?” tanya Aini, putrinya yang sulung, sambil membawa sekantong klethek.

Azizah tersenyum. “Masih, ini timbangan warisan mbahmu. Selama masih bisa dipakai, kita pakai. Yang penting kita jujur soal ukuran.”

Setahun lalu, saat usahanya hampir kandas karena tidak punya cukup modal membeli bahan baku, Azizah nekat mendaftar program permodalan dari BAZNAS yang ia dengar dari ketua RT. Ia hampir tak percaya saat pengajuan bantuannya disetujui. Dengan uang itu, ia membeli ketela dalam jumlah besar, peralatan peniris minyak, dan beberapa toples besar untuk menyimpan produk.

“Uang ini bukan buat kaya, tapi buat bangkit,” bisiknya malam itu, saat menyusun rencana produksi.

Dengan modal tersebut, Azizah mulai mengubah pola kerjanya. Ia membuat jadwal produksi, mencatat pengeluaran dan pemasukan, bahkan belajar pemasaran online meskipun hanya lewat ponsel jadulnya. Aini dan adiknya, Rasyid, juga dilibatkan. Mereka membantunya menata camilan, menimbang, dan memberi label.

Tak semua hari berjalan manis. Pernah suatu kali harga minyak goreng melonjak tajam. Stok ketela habis dan pesanan tetap datang bertubi-tubi. Azizah nyaris putus asa.

“Bu, apa kita nggak usah produksi dulu sampai harga turun?” Aini bertanya pelan.

Azizah menatap putrinya. “Kalau kita berhenti sekarang, kita kehilangan kepercayaan. Pelanggan bukan Cuma beli klethek, tapi beli rasa percaya pada janji kita.”

Ia memutar otak. Malam itu ia menelpon ketua kelompok UMKM dampingan BAZNAS dan berdiskusi tentang strategi bertahan. Hasilnya, ia mulai mencari alternatif supplier ketela langsung dari petani dan belajar membuat laporan biaya produksi yang lebih rapi. Ia bahkan mengurangi sedikit ukuran kemasan untuk menekan harga tanpa menurunkan kualitas.

Ramadhan tahun ini menjadi momen emas. Permintaan meningkat drastis. Camilan klethek buatannya yang dulu hanya dijual di kampung, kini sudah dikirim ke toko oleh-oleh di pusat kota dan dipromosikan lewat akun Instagram kecil yang dikelola Aini.

Kemasan klethek itu kini lebih menarik, dengan logo kecil bertuliskan “Klethek Bu Azizah – Renyah Berkahnya.” Di balik desainnya, ada doa dan perjuangan yang tak terlihat.

“Bu, ada pesanan masuk dari Surabaya. Katanya mau dijual buat hampers,” ujar Aini antusias sambil menunjukkan ponselnya.

Azizah menahan haru. “Alhamdulillah… ini bukan Cuma rezeki kita, tapi juga bukti kalau usaha ibu nggak sia-sia.”

Suatu siang, ia dikabari bahwa perwakilan dari BAZNAS pusat akan datang meninjau usahanya. Azizah panik. Ia menyapu dapurnya berulang kali, mengepel lantai, menyusun toples-toples rapih.

Saat tamu itu datang, Azizah menyambut dengan senyum hangat dan tangan sedikit gemetar.

“Ini, Bu, yang kami maksud dengan UMKM naik kelas. Bukan soal besar-kecilnya usaha, tapi bagaimana seorang ibu bisa bertahan, berinovasi, dan memberi harapan,” ujar perwakilan BAZNAS itu.

Azizah hanya bisa menunduk, matanya berkaca-kaca.

Suatu malam, Rasyid yang masih duduk di kelas 4 SD bertanya, “Bu, kenapa Ibu nggak kerja di kantor aja? Kayak orang-orang yang pakai baju bagus itu?”

Azizah memeluk anaknya. “Ibu memang nggak kerja di kantor, tapi Ibu kerja dari hati. Lewat dapur kecil ini, Ibu bisa bikin orang senang, anak-anak sekolah, dan dapur tetap ngebul. Itu lebih dari cukup buat Ibu.”

Rasyid mengangguk, lalu kembali melanjutkan PR-nya.

Hujan turun deras selama berhari-hari. Saluran air di kampung sempat meluap, menyebabkan sebagian rumah warga tergenang air. Dapur Azizah pun ikut terdampak. Beberapa toples bahan baku basah dan tak bisa digunakan lagi.

Azizah terduduk di lantai, menatap sisa ketela yang mulai lembek. Tangannya gemetar saat mengangkat toples-toples yang gagal diselamatkan.

Aini yang merupakan kakak dari Rasyid, membawakan teh hangat untuk ibunya. “Bu… kita masih punya semangat, kan?”

Azizah menghela napas. “Ibu capek, Nduk… Tapi menyerah bukan pilihan.”

Esok paginya, ia menyingsingkan lengan baju. Bersama Aini dan Rasyid, mereka membersihkan dapur, mengeringkan peralatan, dan mulai dari nol lagi. BAZNAS pun mengirim bantuan darurat berupa bahan baku dan modal kecil untuk memulihkan produksi. Mereka tak membiarkan Azizah berjalan sendirian.

Setelah banjir berlalu dan produksi kembali stabil, Azizah membuat keputusan besar: ia ingin memberdayakan ibu-ibu sekitar kampungnya. Ia mengajak lima tetangga terdekat untuk ikut produksi klethek.

“Saya tidak bisa kaya sendirian. Kalau dapur saya sudah bisa bangkit, kenapa dapur tetangga nggak bisa?” ujarnya dalam pertemuan kecil di halaman rumah.

Ia mengajarkan cara memilih ketela yang bagus, cara mengiris tipis merata, hingga teknik menggoreng tanpa gosong. Mereka membentuk kelompok kecil bernama Klethek Karangwaru, dan mulai membagi tugas produksi sesuai kemampuan masing-masing.

Program pendampingan dari BAZNAS berlanjut. Azizah dan timnya diajak ikut pelatihan branding dan digital marketing. Ia, yang dulunya gagap teknologi, kini bisa mengelola pemesanan lewat WhatsApp Business dan memantau stok lewat aplikasi sederhana.

 

“Sekarang ibu tahu, ilmu juga modal,” katanya pada Aini, yang membantu membuatkan akun Shopee untuk memasarkan produk.

Usahanya mulai dilirik media lokal. Beberapa mahasiswa datang mewawancarainya untuk skripsi. Nama Azizah makin dikenal, tapi ia tetap rendah hati. “Saya ini Cuma ibu rumah tangga yang mau belajar,” ujarnya berkali-kali.

Lebaran tahun itu menjadi yang paling sibuk sepanjang hidup Azizah. Puluhan dus camilan dikirim ke berbagai kota. Tangan-tangannya penuh kapalan, tapi hatinya penuh syukur.

Di tengah kesibukan itu, ia duduk sejenak, menatap dapur kecilnya.

“Ibu pernah bermimpi punya dapur seperti ini?” tanya Rasyid.

Azizah tersenyum. “Ibu nggak pernah berani bermimpi sejauh ini. Tapi ternyata, kalau kita jujur, kerja keras, dan percaya… Allah yang kasih jalan.”

Sejak kecil, Azizah sudah terbiasa berjualan. Dulu ia ikut ibunya menjajakan kue keliling kampung. Sepatu sering basah, baju bau minyak goreng, tapi senyuman ibunya tak pernah hilang. Itulah yang membekas kuat dalam benaknya: berdagang bukan hanya soal untung, tapi tentang ketulusan dan konsistensi.

Kini, nilai itu diwariskannya ke generasi baru.

“Bu, kita perlu stok plastik kemasan lagi,” kata Aini sambil mencatat.

Azizah mengangguk. “Besok kita beli ke toko langganan, sekalian diskusi soal kemasan ramah lingkungan.”

Tak pernah ia bayangkan akan sampai pada titik ini. Dulu, satu kilo ketela harus ditekan sampai tipis agar cukup untuk dijual dan makan. Kini, ia memikirkan desain, branding, dan keberlanjutan.

Tak hanya itu, ia juga mulai mengikuti bazar UMKM yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Di sana, ia bertemu pelaku usaha lain, belajar tentang skema distribusi, dan menjalin kerja sama. Setiap langkah kecil membuka pintu baru.

Namun keberhasilan tak selamanya disambut hangat. Suatu malam, adik iparnya datang dan menyindir.

“Sekarang kamu sibuk jualan camilan ya, Mbak? Sampai lupa ngurus keluarga?”

 

Ucapan itu menusuk.

Azizah diam sejenak. Bukan karena tak punya jawaban, tapi karena ia tahu luka tak perlu dibalas luka.

“Aku sibuk justru demi keluarga. Supaya Aini bisa kuliah, Rasyid bisa sekolah, dan dapur tetap hidup,” ucapnya pelan.

Ia masuk ke kamar dan menangis pelan, bukan karena lelah, tapi karena hatinya letih menjelaskan perjuangan yang tak selalu dipahami.

Namun keesokan harinya, ia bangkit kembali. Air matanya telah menjadi pupuk bagi tekad yang makin kuat tumbuh.

Aini kini duduk di bangku SMA. Berkat hasil usaha ibunya, ia tak perlu lagi menunggak iuran sekolah.

“Bu, aku pengen ambil kuliah jurusan desain komunikasi visual. Aku mau bantu ibu dari sisi branding,” ujarnya dengan mata berbinar.

Azizah memeluk Aini. “Apapun yang kamu pilih, Ibu ridho. Tapi ingat, ilmu itu tanggung jawab.”

Azizah mulai menabung diam-diam untuk biaya pendaftaran kuliah. Ia bahkan menolak tawaran beli motor bekas, karena dalam doanya, masa depan anak-anaknya adalah prioritas tertinggi.

Suatu hari, saat membersihkan laci lemari tua, Azizah menemukan surat lama dari mendiang ibunya. Tulisan tangan itu sudah mulai pudar, namun maknanya menampar keras:

Zizah, kalau nanti kamu jadi ibu, ajarkan anakmu bukan hanya rajin, tapi juga jujur dan penuh cinta. Karena dunia bisa berubah, tapi kejujuran dan cinta akan tetap membawa kita pulang.

Air matanya mengalir. Ia membacakan surat itu di depan Aini dan Rasyid, dengan suara yang bergetar.

“Ini yang ngajarin Ibu jualan sejak kecil,” ucapnya. “Dan ini juga yang ngajarin Ibu untuk nggak nyerah, bahkan ketika nggak ada yang percaya kita bisa bangkit.”

 

Dengan semangat yang tak pernah padam, Azizah mulai membangun jaringan antar-ibu di Karangwaru. Ia sadar, bukan hanya dirinya yang berjuang menyambung hidup. Banyak ibu rumah tangga yang punya potensi, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

“Mari kita bikin pelatihan bareng,” usulnya di rapat RT.

Beberapa ibu masih ragu, “Tapi Bu, saya nggak bisa jualan…”

“Gak perlu bisa dulu. Yang penting mau belajar,” jawab Azizah mantap.

Dibantu relawan BAZNAS, Azizah mengadakan pelatihan keterampilan: dari membuat keripik, sabun cuci homemade, sampai cara mencatat pemasukan dan pengeluaran rumah tangga.

Yang awalnya hanya dua orang, pelatihan itu akhirnya menarik hampir dua puluh ibu. Mereka berkumpul setiap Sabtu sore di halaman masjid kecil, membawa semangat baru yang tumbuh dari peluh dan sabar.

Suatu hari, seorang jurnalis lokal dari Tulungagung Post datang ke pelatihan. Ia mendengar kabar soal ‘ibu-ibu pejuang’ di Karangwaru dari salah satu relawan BAZNAS.

Azizah sempat grogi saat diwawancara. “Kami Cuma ibu-ibu biasa,” katanya pelan.

Namun si jurnalis tersenyum. “Ibu-ibu biasa dengan semangat luar biasa. Itu yang perlu dunia tahu.”

Beberapa hari kemudian, sebuah artikel dengan judul “Dari Dapur ke Harapan: Cerita UMKM Karangwaru” tersebar di media sosial. Nama Azizah viral secara lokal. Ia menerima banyak pesan masuk, bahkan ada tawaran kerja sama dari toko oleh-oleh.

Tak ada yang menyangka, perempuan yang dulu menjajakan keripik keliling kini jadi narasumber di seminar kecil tentang pemberdayaan ekonomi keluarga.

Sementara itu, Rasyid anak bungsunya tumbuh menjadi remaja yang lebih banyak diam, namun penuh perhatian. Ia sering diam-diam membantu ibunya menyusun kemasan, mengangkat barang dari pasar, bahkan belajar desain di warnet dekat rumah.

“Aku gak pintar kayak Mbak Aini, Bu. Tapi aku pengen bantu juga,” ujarnya suatu malam.

Azizah mengusap kepala anak itu. “Kamu bantu Ibu setiap hari. Itu lebih dari cukup.”

 

Namun tanpa sepengetahuan Azizah, Rasyid mengikuti lomba desain logo UMKM tingkat kabupaten. Ia mengirimkan logo sederhana untuk usaha ibunya, bertuliskan: “Klethek Harapan – Rasa Tradisi, Harap Masa Depan.”

Dua minggu kemudian, Rasyid diumumkan sebagai pemenang. Hadiahnya tidak seberapa, tapi rasa bangganya? Tak tergantikan.

Azizah menangis saat melihat hasil desain itu. Bukan karena indahnya, tapi karena pesan itu datang dari anak yang selama ini diam, namun memahami perjuangannya sedalam itu.

Dengan bantuan relawan, Azizah mulai memperluas pemasaran secara online. Produk-produk kletheknya kini dikirim ke luar kota: Surabaya, Malang, bahkan Jakarta. Ia belajar mengelola e-commerce, menata stok, dan merespon pelanggan lewat aplikasi.

“Dulu aku takut pegang HP android,” ucapnya sambil tertawa kecil. “Sekarang malah jadi admin sendiri.”

Hidupnya berubah, tapi satu hal tetap: kesederhanaan. Ia masih tinggal di rumah mungil berdinding semen, masih memasak sendiri untuk anak-anaknya, dan tetap membuka pelatihan gratis untuk ibu-ibu baru yang datang padanya.

Karena bagi Azizah, berdaya bukan berarti harus kaya raya. Tapi tahu bahwa kita bisa memberi manfaat, meski hanya dengan sedikit ilmu dan hati yang mau berbagi.

Suatu hari, ia menerima undangan dari BAZNAS pusat. Mereka mengadakan forum nasional pelaku UMKM binaan. Azizah diminta hadir sebagai perwakilan Tulungagung.

Ia sempat ragu.

“Bu, ini kesempatan emas,” kata Aini.

“Tapi Ibu belum pernah naik pesawat…”

“Justru itu, kita mulai langkah baru!”

Dengan do’a dan semangat yang sama saat pertama kali menjemur ketela, Azizah berangkat ke Jakarta. Ia mengenakan kebaya sederhana, membawa beberapa bungkus klethek sebagai buah tangan.

Di forum itu, ia berdiri di panggung kecil. Tangannya gemetar, tapi suaranya mantap.

“Saya hanya seorang ibu. Tapi saya percaya, satu langkah kecil yang kita pilih hari ini, bisa jadi perubahan besar untuk banyak keluarga.”

Tepuk tangan bergema. Beberapa bahkan meneteskan air mata. Tak ada presentasi mewah, tak ada slide PowerPoint. Hanya kisah nyata, dari seorang perempuan yang memilih untuk tidak menyerah.

Setahun berlalu. Azizah kini mengelola koperasi kecil bersama para ibu Karangwaru. Mereka saling bantu memasarkan produk, menyimpan modal, dan terus belajar. Aini kini kuliah di jurusan desain seperti yang ia cita-citakan, sambil menjadi pengelola media sosial usaha keluarga.

Rasyid menjadi siswa SMK jurusan multimedia, dan baru saja memenangkan lomba video dokumenter tentang perjuangan ibunya.

Azizah tak lagi dipandang sebelah mata oleh tetangga. Tapi yang paling penting, ia tak lagi memandang rendah dirinya sendiri.

Suatu sore, saat matahari tenggelam di ufuk barat Tulungagung, Azizah duduk di beranda rumah. Di depannya, anak-anaknya tertawa sambil membantu menyiapkan pesanan klethek yang akan dikirim ke Yogyakarta.

Ia memejamkan mata sejenak, lalu tersenyum.

“Terima kasih, ya Allah… Aku gak punya apa-apa dulu. Tapi Engkau beri aku segalanya: kekuatan, anak-anak yang baik, dan jalan keluar yang tak pernah kusangka.”

Dan dari gang kecil Karangwaru, aroma klethek yang manis dan gurih terus mengepul mengabarkan bahwa harapan, selalu punya tempat di rumah yang tak pernah menyerah.

…Dibantu relawan dari BAZNAS dan karang taruna setempat, Azizah merancang pelatihan sederhana: mulai dari cara menghitung HPP (Harga Pokok Produksi), mengemas produk secara menarik, hingga membuat akun media sosial untuk promosi.

Pelatihan itu diadakan di balai RW, menggunakan proyektor pinjaman dari kelurahan dan meja panjang dari pinjaman warga. Satu per satu ibu-ibu mulai datang, duduk dengan rasa malu-malu tapi penuh penasaran. Azizah berdiri di depan, bukan sebagai pakar, tapi sebagai teman seperjuangan.

 

“Saya juga dulu nggak ngerti apa-apa soal pemasaran, Bu. Tapi kita belajar bareng-bareng, ya. Yang penting jangan takut mulai.”

Ada Bu Yuni, ibu tiga anak yang jago bikin keripik pisang. Lalu Bu Rina yang sering bikin peyek tapi belum pernah menjualnya. Azizah membantu mereka menghitung kebutuhan bahan, menentukan harga jual yang wajar, dan merancang kemasan sederhana.

Setelah beberapa minggu, produk dari para ibu itu mulai dijual bersamaan dengan klethek Bu Azizah. Di etalase rumahnya, sekarang ada tiga toples tambahan berisi peyek, keripik pisang, dan stik bawang. Di bagian atas rak tertempel tulisan tangan: “Produk Ibu-Ibu Karangwaru – Beli satu, bantu banyak dapur.”

“Saya mau rumah ini jadi rumah harapan,” gumam Azizah suatu malam, saat menyiapkan pesanan bersama Aini.

Tak lama kemudian, kelompok UMKM kecil itu diundang untuk mengisi stan di festival pangan lokal. Azizah dan beberapa ibu lain bergantian menjaga stan. Mereka membagikan brosur, menawarkan tester, dan menjawab pertanyaan pengunjung dengan senyum lebar.

Di tengah acara, datang seorang perempuan muda dengan blazer dan lencana media. Ia mewawancarai Azizah.

“Bu, apa yang membuat Ibu tetap bertahan, bahkan ketika usaha ini sempat nyaris tenggelam?” tanyanya sambil menulis cepat.

Azizah menatap sekeliling. Ia melihat ibu-ibu yang tertawa sambil menghitung kembalian, anak-anak kecil yang membagikan brosur, dan pelanggan yang berfoto dengan produk mereka.

“Karena saya percaya… bahwa harapan itu bisa digoreng,” jawabnya ringan. “Seperti ketela ini. Asal sabar, hasilnya bisa renyah.”

Wawancara itu dimuat di media lokal dan dibagikan ulang oleh akun resmi BAZNAS. Sejak itu, pesanan semakin banyak, dan beberapa instansi mulai menawarkan kerja sama program pemberdayaan.

Namun Azizah tahu, ia tidak boleh cepat puas.

Suatu malam, ia duduk bersama Aini dan Rasyid, membuka buku catatan besar berisi impian mereka. Di halaman pertama, ada tulisan sederhana:

Impian Keluarga Azizah:

1.    1. Aini kuliah.

2.    2.  Rasyid naik haji bareng Ibu.

3.     3. Buka kios oleh-oleh Klethek Karangwaru.

4.     4.  Bangun dapur komunitas gratis untuk ibu-ibu belajar usaha.

"Bu, kenapa yang nomor dua Rasyid duluan?” tanya Aini sambil tertawa kecil.

Azizah memeluk Rasyid. “Karena dulu waktu Bapak sakit, dia yang paling sering nemenin Ibu jualan. Ini hadiah buat anak laki-laki Ibu.”

Rasyid tersipu malu. “Kalau aku naik haji duluan, nanti Ibu yang jadi tamuku di surga ya?”

Mata Azizah berkaca-kaca. Ia hanya bisa mengangguk.

Hari-hari terus bergulir. Klethek Karangwaru kini bukan sekadar nama produk, tapi simbol kebangkitan perempuan. Setiap bungkusnya menyimpan kisah perjuangan. Setiap renyahnya menyuarakan keteguhan.

Dalam sebuah rapat kampung, lurah setempat menyebut Azizah sebagai inspirasi. “Ia bukan hanya membangun usaha, tapi membangun harapan. Dari Karangwaru, untuk Indonesia.”

Di tengah tepuk tangan warga, Azizah hanya tersenyum. Ia tahu, tepuk tangan bukan akhir. Perjalanan masih panjang.

Dan selama dapur itu tetap menyala, doa-doa dari Karangwaru akan terus hidup.

Tahun itu, awal Ramadan tiba dengan angin sejuk yang membawa bau tanah dan ketela goreng dari dapur Azizah. Ia sibuk menata toples pesanan takjil dari kelurahan, dibantu oleh Aini yang kini sudah kelas dua SMA dan sedang libur ujian.

“Mau buka puasa bareng warga kelurahan, Bu? Kata Pak RW, Ibu diminta jadi narasumber UMKM Ramadan,” kata Aini, menyerahkan undangan kecil dari ketua RT.

Azizah membaca kertas undangan itu sambil tersenyum kecil. Dalam hati, ia merasa aneh dulu ia yang minta bantuan, kini ia yang diminta berbagi pengalaman.

Di acara itu, ia menceritakan bagaimana permodalan dari BAZNAS bukan hanya menyelamatkan usahanya, tapi juga memberinya semangat untuk menyelamatkan yang lain.

“Saya bukan pebisnis. Saya Cuma seorang ibu yang mau anak-anaknya makan dari hasil sendiri, bukan belas kasihan,” ucapnya. “Dan ternyata, niat sederhana itu bisa menggerakkan banyak.”

Tepuk tangan warga menggema. Bahkan beberapa ibu terlihat menyeka air mata. Setelah acara, ada yang menghampiri dengan mata berbinar.

“Bu, saya juga mau mulai usaha kecil-kecilan. Tapi saya nggak ngerti harus mulai dari mana.”

Azizah menggenggam tangan ibu itu.

“Mulai dari dapur sendiri. Lihat apa yang bisa kita olah, lalu tawarkan. Modal paling utama bukan uang tapi niat.”

Dari obrolan itu, terbentuklah satu kelompok UMKM baru lagi, yang diberi nama ’Dapur Ramadan Karangwaru’ beranggotakan tujuh ibu rumah tangga dengan berbagai resep andalan.

Sore harinya, Azizah duduk di beranda rumah, memandang matahari yang mulai condong ke barat. Aroma masakan menyebar dari dapur tetangga, anak-anak berlarian sambil membawa bungkus takjil.

Rasyid datang membawa sepeda ontel warisan ayahnya.

“Bu, lihat! Tadi aku dapat piagam dari lomba video kreatif. Aku bikin tentang perjuangan Ibu!” katanya sambil menunjuk tulisan di piagam: “Juara Harapan I – Lomba Video Hari Kartini”

Azizah mengambil piagam itu, membacanya perlahan, lalu memeluk Rasyid.

“Terima kasih, Nak. Ibu nggak pernah minta jadi Kartini, cukup jadi ibu yang kamu banggakan.”

Malamnya, saat semua tertidur, Azizah menulis di halaman terakhir buku catatannya:

"Mimpi itu seperti ketela. Ia mungkin tumbuh dalam tanah, diam, tak terlihat. Tapi bila dirawat dan dipanen dengan kesabaran, ia bisa menjadi sumber penghidupan yang menguatkan. Dari ketela, aku belajar tentang harapan.”

Beberapa Tahun Kemudian...

Pagi itu, langit Karangwaru cerah, suara burung bersahutan di antara rerimbunan pohon jambu. Di halaman rumah yang kini lebih luas karena disatukan dengan warung kecil di sampingnya, Azizah duduk di kursi kayu, menyesap the hangat. Di depannya, sebuah papan nama tergantung rapi:

”Klethek Harapan – Oleh-oleh Khas Karangwaru”

Dikelola oleh Komunitas Perempuan Mandiri Karangwaru.

Aini kini sudah lulus kuliah, bekerja di LSM yang fokus pada pemberdayaan perempuan desa. Rasyid duduk di bangku SMA, aktif di ekstrakurikuler film. Usaha kecil Azizah berkembang jadi koperasi mini, dikelola secara gotong royong oleh para ibu yang dulu hanya memendam mimpi di dapur mereka.

Azizah menatap ke kejauhan. Dalam pikirannya, ia kembali ke masa saat dapur ini Cuma berisi tungku tua, dan ia bingung mencari beras untuk besok. Masa ketika bantuan dari BAZNAS datang seperti angin segar di tengah sesak hidup.

Tapi yang paling ia syukuri bukan hanya uang modal, melainkan kepercayaan bahwa seorang perempuan biasa pun bisa jadi penggerak perubahan.

“Bu, nanti sore ada pelatihan digital marketing dari kampus, ya. Ibu mau ikut?” tanya Aini, muncul dari dalam rumah dengan laptop di tangan.

Azizah tertawa kecil. “Ibu masih gaptek, tapi ya udah… ibu ikut. Biar nggak ketinggalan zaman.”

Mereka tertawa bersama.

Moral Akhir:

Dari ketela goreng yang dulu dijual di emperan, Azizah membuktikan bahwa harapan bisa tumbuh dari hal sederhana. Permodalan bukan akhir dari kemiskinan, tapi awal dari keberanian. Dan dalam keberanian seorang ibu, tersembunyi kekuatan untuk mengubah wajah sebuah kampung.

Karangwaru tak lagi hanya nama dusun tapi simbol perjuangan perempuan yang tak kenal lelah membangun masa depan, dimulai dari dapur, dari doa, dan dari niat baik.


 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment