- Perkuat Usaha Mustahik, BAZNAS Dukung Cici Lewat Bantuan Freezer untuk Gerai Z-Chicken
- Inovasi Petani Mustahik di Teluknaga: Bukti Peran Strategis BAZNAS dalam Pemberdayaan Umat
- Kurban, Ibadah yang Dianjurkan di Bulan Zulhijah
- Sejarah dan Tujuan Ibadah Kurban Menurut Sejarah Islam
- Bantuan BAZNAS Ubah Nuraena Jadi Mustahik Saudagar Ayam Krispi
- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
Klethek Harapan dari Karangwaru
Oleh: Pudji Mardiriani

Keterangan Gambar : Gambar diilustrasikan oleh AI chatgpt.com
Suara kompor menyala pelan di sudut dapur rumah sederhana berwarna
hijau di Kelurahan Karangwaru. Azizatus Sholichah, perempuan paruh baya dengan
kerudung sederhana dan mata penuh semangat, tengah mengaduk-aduk adonan ketela
dengan takaran yang sudah ia hafal di luar kepala. Setiap adonan yang ia buat
bukan hanya berasal dari resep warisan ibunya, tapi juga dari doa-doa yang ia
selipkan di setiap irisan ketela.
Sejak suaminya meninggal lima tahun lalu karena sakit jantung,
Azizah menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus menghidupi dua anak yang
masih duduk di bangku sekolah. Dulu, ia hanya membuat camilan klethek
sekadarnya, dititipkan di warung tetangga dengan keuntungan yang nyaris tak
cukup membeli beras. Tapi semuanya berubah sejak datangnya bantuan dari BAZNAS.
Azizah menoleh ke sudut ruangan, tempat timbangan merah tuanya
berdiri tegak. Di sebelahnya, tumpukan plastik berisi camilan klethek yang siap
dipasarkan. Sekarang, camilan itu bukan sekadar pengisi etalase warung, tapi
sudah mulai masuk ke toko oleh-oleh dan bahkan dipesan dalam jumlah besar
menjelang Lebaran.
Baca Lainnya :
- Enam Negara Afrika Berlatih Zakat dan Sertifikasi Amil ke BAZNAS dan IPB0
- Dukung Evakuasi Sementara untuk Sebagian Warga Palestina, BAZNAS RI Siap Fasilitasi Perawatan di Ind0
- Kisah Cinta yang Tumbuh di Tengah Reruntuhan0
- Pecahnya Persatuan:Perang Hati di Antara Sahabat pedekar Indonesia (10)0
- Di Ambang Kematian:Pahlawan Indonesia yang Menentang Penjajah (9)0
“Bu, timbangan ini masih kuat nggak?” tanya Aini, putrinya yang
sulung, sambil membawa sekantong klethek.
Azizah tersenyum. “Masih, ini timbangan warisan mbahmu. Selama masih
bisa dipakai, kita pakai. Yang penting kita jujur soal ukuran.”
Setahun lalu, saat usahanya hampir kandas karena tidak punya cukup
modal membeli bahan baku, Azizah nekat mendaftar program permodalan dari BAZNAS
yang ia dengar dari ketua RT. Ia hampir tak percaya saat pengajuan bantuannya
disetujui. Dengan uang itu, ia membeli ketela dalam jumlah besar, peralatan
peniris minyak, dan beberapa toples besar untuk menyimpan produk.
“Uang ini bukan buat kaya, tapi buat bangkit,” bisiknya malam itu,
saat menyusun rencana produksi.
Dengan modal tersebut, Azizah mulai mengubah pola kerjanya. Ia
membuat jadwal produksi, mencatat pengeluaran dan pemasukan, bahkan belajar
pemasaran online meskipun hanya lewat ponsel jadulnya. Aini dan adiknya,
Rasyid, juga dilibatkan. Mereka membantunya menata camilan, menimbang, dan
memberi label.
Tak semua hari berjalan manis. Pernah suatu kali harga minyak goreng
melonjak tajam. Stok ketela habis dan pesanan tetap datang bertubi-tubi. Azizah
nyaris putus asa.
“Bu, apa kita nggak usah produksi dulu sampai harga turun?” Aini
bertanya pelan.
Azizah menatap putrinya. “Kalau kita berhenti sekarang, kita
kehilangan kepercayaan. Pelanggan bukan Cuma beli klethek, tapi beli rasa
percaya pada janji kita.”
Ia memutar otak. Malam itu ia menelpon ketua kelompok UMKM dampingan
BAZNAS dan berdiskusi tentang strategi bertahan. Hasilnya, ia mulai mencari
alternatif supplier ketela langsung dari petani dan belajar membuat laporan
biaya produksi yang lebih rapi. Ia bahkan mengurangi sedikit ukuran kemasan
untuk menekan harga tanpa menurunkan kualitas.
Ramadhan tahun ini menjadi momen emas. Permintaan meningkat drastis.
Camilan klethek buatannya yang dulu hanya dijual di kampung, kini sudah dikirim
ke toko oleh-oleh di pusat kota dan dipromosikan lewat akun Instagram kecil
yang dikelola Aini.
Kemasan klethek itu kini lebih menarik, dengan logo kecil
bertuliskan “Klethek Bu Azizah – Renyah Berkahnya.” Di balik desainnya, ada doa
dan perjuangan yang tak terlihat.
“Bu, ada pesanan masuk dari Surabaya. Katanya mau dijual buat
hampers,” ujar Aini antusias sambil menunjukkan ponselnya.
Azizah menahan haru. “Alhamdulillah… ini bukan Cuma rezeki kita,
tapi juga bukti kalau usaha ibu nggak sia-sia.”
Suatu siang, ia dikabari bahwa perwakilan dari BAZNAS pusat akan
datang meninjau usahanya. Azizah panik. Ia menyapu dapurnya berulang kali,
mengepel lantai, menyusun toples-toples rapih.
Saat tamu itu datang, Azizah menyambut dengan senyum hangat dan
tangan sedikit gemetar.
“Ini, Bu, yang kami maksud dengan UMKM naik kelas. Bukan soal
besar-kecilnya usaha, tapi bagaimana seorang ibu bisa bertahan, berinovasi, dan
memberi harapan,” ujar perwakilan BAZNAS itu.
Azizah hanya bisa menunduk, matanya berkaca-kaca.
Suatu malam, Rasyid yang masih duduk di kelas 4 SD bertanya, “Bu,
kenapa Ibu nggak kerja di kantor aja? Kayak orang-orang yang pakai baju bagus
itu?”
Azizah memeluk anaknya. “Ibu memang nggak kerja di kantor, tapi Ibu
kerja dari hati. Lewat dapur kecil ini, Ibu bisa bikin orang senang, anak-anak
sekolah, dan dapur tetap ngebul. Itu lebih dari cukup buat Ibu.”
Rasyid mengangguk, lalu kembali melanjutkan PR-nya.
Hujan turun deras selama berhari-hari. Saluran air di kampung sempat
meluap, menyebabkan sebagian rumah warga tergenang air. Dapur Azizah pun ikut
terdampak. Beberapa toples bahan baku basah dan tak bisa digunakan lagi.
Azizah terduduk di lantai, menatap sisa ketela yang mulai lembek.
Tangannya gemetar saat mengangkat toples-toples yang gagal diselamatkan.
Aini yang merupakan kakak dari Rasyid, membawakan teh hangat untuk ibunya.
“Bu… kita masih punya semangat, kan?”
Azizah menghela napas. “Ibu capek, Nduk… Tapi menyerah bukan
pilihan.”
Esok paginya, ia menyingsingkan lengan baju. Bersama Aini dan
Rasyid, mereka membersihkan dapur, mengeringkan peralatan, dan mulai dari nol
lagi. BAZNAS pun mengirim bantuan darurat berupa bahan baku dan modal kecil
untuk memulihkan produksi. Mereka tak membiarkan Azizah berjalan sendirian.
Setelah banjir berlalu dan produksi kembali stabil, Azizah membuat
keputusan besar: ia ingin memberdayakan ibu-ibu sekitar kampungnya. Ia mengajak
lima tetangga terdekat untuk ikut produksi klethek.
“Saya tidak bisa kaya sendirian. Kalau dapur saya sudah bisa
bangkit, kenapa dapur tetangga nggak bisa?” ujarnya dalam pertemuan kecil di
halaman rumah.
Ia mengajarkan cara memilih ketela yang bagus, cara mengiris tipis
merata, hingga teknik menggoreng tanpa gosong. Mereka membentuk kelompok kecil
bernama Klethek Karangwaru, dan mulai membagi tugas produksi sesuai kemampuan
masing-masing.
Program pendampingan dari BAZNAS berlanjut. Azizah dan timnya diajak
ikut pelatihan branding dan digital marketing. Ia, yang dulunya gagap
teknologi, kini bisa mengelola pemesanan lewat WhatsApp Business dan memantau
stok lewat aplikasi sederhana.
“Sekarang ibu tahu, ilmu juga modal,” katanya pada Aini, yang
membantu membuatkan akun Shopee untuk memasarkan produk.
Usahanya mulai dilirik media lokal. Beberapa mahasiswa datang
mewawancarainya untuk skripsi. Nama Azizah makin dikenal, tapi ia tetap rendah
hati. “Saya ini Cuma ibu rumah tangga yang mau belajar,” ujarnya berkali-kali.
Lebaran tahun itu menjadi yang paling sibuk sepanjang hidup Azizah.
Puluhan dus camilan dikirim ke berbagai kota. Tangan-tangannya penuh kapalan,
tapi hatinya penuh syukur.
Di tengah kesibukan itu, ia duduk sejenak, menatap dapur kecilnya.
“Ibu pernah bermimpi punya dapur seperti ini?” tanya Rasyid.
Azizah tersenyum. “Ibu nggak pernah berani bermimpi sejauh ini. Tapi
ternyata, kalau kita jujur, kerja keras, dan percaya… Allah yang kasih jalan.”
Sejak kecil, Azizah sudah terbiasa berjualan. Dulu ia ikut ibunya
menjajakan kue keliling kampung. Sepatu sering basah, baju bau minyak goreng,
tapi senyuman ibunya tak pernah hilang. Itulah yang membekas kuat dalam
benaknya: berdagang bukan hanya soal untung, tapi tentang ketulusan dan
konsistensi.
Kini, nilai itu diwariskannya ke generasi baru.
“Bu, kita perlu stok plastik kemasan lagi,” kata Aini sambil
mencatat.
Azizah mengangguk. “Besok kita beli ke toko langganan, sekalian
diskusi soal kemasan ramah lingkungan.”
Tak pernah ia bayangkan akan sampai pada titik ini. Dulu, satu kilo
ketela harus ditekan sampai tipis agar cukup untuk dijual dan makan. Kini, ia
memikirkan desain, branding, dan keberlanjutan.
Tak hanya itu, ia juga mulai mengikuti bazar UMKM yang difasilitasi
oleh pemerintah daerah. Di sana, ia bertemu pelaku usaha lain, belajar tentang
skema distribusi, dan menjalin kerja sama. Setiap langkah kecil membuka pintu
baru.
Namun keberhasilan tak selamanya disambut hangat. Suatu malam, adik
iparnya datang dan menyindir.
“Sekarang kamu sibuk jualan camilan ya, Mbak? Sampai lupa ngurus
keluarga?”
Ucapan itu menusuk.
Azizah diam sejenak. Bukan karena tak punya jawaban, tapi karena ia
tahu luka tak perlu dibalas luka.
“Aku sibuk justru demi keluarga. Supaya Aini bisa kuliah, Rasyid
bisa sekolah, dan dapur tetap hidup,” ucapnya pelan.
Ia masuk ke kamar dan menangis pelan, bukan karena lelah, tapi
karena hatinya letih menjelaskan perjuangan yang tak selalu dipahami.
Namun keesokan harinya, ia bangkit kembali. Air matanya telah
menjadi pupuk bagi tekad yang makin kuat tumbuh.
Aini kini duduk di bangku SMA. Berkat hasil usaha ibunya, ia tak
perlu lagi menunggak iuran sekolah.
“Bu, aku pengen ambil kuliah jurusan desain komunikasi visual. Aku
mau bantu ibu dari sisi branding,” ujarnya dengan mata berbinar.
Azizah memeluk Aini. “Apapun yang kamu pilih, Ibu ridho. Tapi ingat,
ilmu itu tanggung jawab.”
Azizah mulai menabung diam-diam untuk biaya pendaftaran kuliah. Ia
bahkan menolak tawaran beli motor bekas, karena dalam doanya, masa depan
anak-anaknya adalah prioritas tertinggi.
Suatu hari, saat membersihkan laci lemari tua, Azizah menemukan
surat lama dari mendiang ibunya. Tulisan tangan itu sudah mulai pudar, namun
maknanya menampar keras:
Zizah, kalau nanti kamu jadi ibu, ajarkan anakmu bukan hanya rajin,
tapi juga jujur dan penuh cinta. Karena dunia bisa berubah, tapi kejujuran dan
cinta akan tetap membawa kita pulang.
Air matanya mengalir. Ia membacakan surat itu di depan Aini dan
Rasyid, dengan suara yang bergetar.
“Ini yang ngajarin Ibu jualan sejak kecil,” ucapnya. “Dan ini juga
yang ngajarin Ibu untuk nggak nyerah, bahkan ketika nggak ada yang percaya kita
bisa bangkit.”
Dengan semangat yang tak pernah padam, Azizah mulai membangun
jaringan antar-ibu di Karangwaru. Ia sadar, bukan hanya dirinya yang berjuang
menyambung hidup. Banyak ibu rumah tangga yang punya potensi, tapi tak tahu
harus mulai dari mana.
“Mari kita bikin pelatihan bareng,” usulnya di rapat RT.
Beberapa ibu masih ragu, “Tapi Bu, saya nggak bisa jualan…”
“Gak perlu bisa dulu. Yang penting mau belajar,” jawab Azizah
mantap.
Dibantu relawan BAZNAS, Azizah mengadakan pelatihan keterampilan:
dari membuat keripik, sabun cuci homemade, sampai cara mencatat pemasukan dan
pengeluaran rumah tangga.
Yang awalnya hanya dua orang, pelatihan itu akhirnya menarik hampir
dua puluh ibu. Mereka berkumpul setiap Sabtu sore di halaman masjid kecil,
membawa semangat baru yang tumbuh dari peluh dan sabar.
Suatu hari, seorang jurnalis lokal dari Tulungagung Post datang ke
pelatihan. Ia mendengar kabar soal ‘ibu-ibu pejuang’ di Karangwaru dari salah
satu relawan BAZNAS.
Azizah sempat grogi saat diwawancara. “Kami Cuma ibu-ibu biasa,”
katanya pelan.
Namun si jurnalis tersenyum. “Ibu-ibu biasa dengan semangat luar
biasa. Itu yang perlu dunia tahu.”
Beberapa hari kemudian, sebuah artikel dengan judul “Dari Dapur ke
Harapan: Cerita UMKM Karangwaru” tersebar di media sosial. Nama Azizah viral
secara lokal. Ia menerima banyak pesan masuk, bahkan ada tawaran kerja sama
dari toko oleh-oleh.
Tak ada yang menyangka, perempuan yang dulu menjajakan keripik
keliling kini jadi narasumber di seminar kecil tentang pemberdayaan ekonomi
keluarga.
Sementara itu, Rasyid anak bungsunya tumbuh menjadi remaja yang
lebih banyak diam, namun penuh perhatian. Ia sering diam-diam membantu ibunya
menyusun kemasan, mengangkat barang dari pasar, bahkan belajar desain di warnet
dekat rumah.
“Aku gak pintar kayak Mbak Aini, Bu. Tapi aku pengen bantu juga,”
ujarnya suatu malam.
Azizah mengusap kepala anak itu. “Kamu bantu Ibu setiap hari. Itu
lebih dari cukup.”
Namun tanpa sepengetahuan Azizah, Rasyid mengikuti lomba desain logo
UMKM tingkat kabupaten. Ia mengirimkan logo sederhana untuk usaha ibunya,
bertuliskan: “Klethek Harapan – Rasa Tradisi, Harap Masa Depan.”
Dua minggu kemudian, Rasyid diumumkan sebagai pemenang. Hadiahnya
tidak seberapa, tapi rasa bangganya? Tak tergantikan.
Azizah menangis saat melihat hasil desain itu. Bukan karena
indahnya, tapi karena pesan itu datang dari anak yang selama ini diam, namun
memahami perjuangannya sedalam itu.
Dengan bantuan relawan, Azizah mulai memperluas pemasaran secara
online. Produk-produk kletheknya kini dikirim ke luar kota: Surabaya, Malang,
bahkan Jakarta. Ia belajar mengelola e-commerce, menata stok, dan merespon
pelanggan lewat aplikasi.
“Dulu aku takut pegang HP android,” ucapnya sambil tertawa kecil.
“Sekarang malah jadi admin sendiri.”
Hidupnya berubah, tapi satu hal tetap: kesederhanaan. Ia masih
tinggal di rumah mungil berdinding semen, masih memasak sendiri untuk
anak-anaknya, dan tetap membuka pelatihan gratis untuk ibu-ibu baru yang datang
padanya.
Karena bagi Azizah, berdaya bukan berarti harus kaya raya. Tapi tahu
bahwa kita bisa memberi manfaat, meski hanya dengan sedikit ilmu dan hati yang
mau berbagi.
Suatu hari, ia menerima undangan dari BAZNAS pusat. Mereka
mengadakan forum nasional pelaku UMKM binaan. Azizah diminta hadir sebagai
perwakilan Tulungagung.
Ia sempat ragu.
“Bu, ini kesempatan emas,” kata Aini.
“Tapi Ibu belum pernah naik pesawat…”
“Justru itu, kita mulai langkah baru!”
Dengan do’a dan semangat yang sama saat pertama kali menjemur
ketela, Azizah berangkat ke Jakarta. Ia mengenakan kebaya sederhana, membawa
beberapa bungkus klethek sebagai buah tangan.
Di forum itu, ia berdiri di panggung kecil. Tangannya gemetar, tapi
suaranya mantap.
“Saya hanya seorang ibu. Tapi saya percaya, satu langkah kecil yang
kita pilih hari ini, bisa jadi perubahan besar untuk banyak keluarga.”
Tepuk tangan bergema. Beberapa bahkan meneteskan air mata. Tak ada
presentasi mewah, tak ada slide PowerPoint. Hanya kisah nyata, dari seorang
perempuan yang memilih untuk tidak menyerah.
Setahun berlalu. Azizah kini mengelola koperasi kecil bersama para
ibu Karangwaru. Mereka saling bantu memasarkan produk, menyimpan modal, dan
terus belajar. Aini kini kuliah di jurusan desain seperti yang ia cita-citakan,
sambil menjadi pengelola media sosial usaha keluarga.
Rasyid menjadi siswa SMK jurusan multimedia, dan baru saja
memenangkan lomba video dokumenter tentang perjuangan ibunya.
Azizah tak lagi dipandang sebelah mata oleh tetangga. Tapi yang
paling penting, ia tak lagi memandang rendah dirinya sendiri.
Suatu sore, saat matahari tenggelam di ufuk barat Tulungagung,
Azizah duduk di beranda rumah. Di depannya, anak-anaknya tertawa sambil
membantu menyiapkan pesanan klethek yang akan dikirim ke Yogyakarta.
Ia memejamkan mata sejenak, lalu tersenyum.
“Terima kasih, ya Allah… Aku gak punya apa-apa dulu. Tapi Engkau
beri aku segalanya: kekuatan, anak-anak yang baik, dan jalan keluar yang tak
pernah kusangka.”
Dan dari gang kecil Karangwaru, aroma klethek yang manis dan gurih
terus mengepul mengabarkan bahwa harapan, selalu punya tempat di rumah yang tak
pernah menyerah.
…Dibantu relawan dari BAZNAS dan karang taruna setempat, Azizah
merancang pelatihan sederhana: mulai dari cara menghitung HPP (Harga Pokok
Produksi), mengemas produk secara menarik, hingga membuat akun media sosial
untuk promosi.
Pelatihan itu diadakan di balai RW, menggunakan proyektor pinjaman
dari kelurahan dan meja panjang dari pinjaman warga. Satu per satu ibu-ibu
mulai datang, duduk dengan rasa malu-malu tapi penuh penasaran. Azizah berdiri
di depan, bukan sebagai pakar, tapi sebagai teman seperjuangan.
“Saya juga dulu nggak ngerti apa-apa soal pemasaran, Bu. Tapi kita
belajar bareng-bareng, ya. Yang penting jangan takut mulai.”
Ada Bu Yuni, ibu tiga anak yang jago bikin keripik pisang. Lalu Bu
Rina yang sering bikin peyek tapi belum pernah menjualnya. Azizah membantu
mereka menghitung kebutuhan bahan, menentukan harga jual yang wajar, dan
merancang kemasan sederhana.
Setelah beberapa minggu, produk dari para ibu itu mulai dijual
bersamaan dengan klethek Bu Azizah. Di etalase rumahnya, sekarang ada tiga
toples tambahan berisi peyek, keripik pisang, dan stik bawang. Di bagian atas
rak tertempel tulisan tangan: “Produk Ibu-Ibu Karangwaru – Beli satu, bantu
banyak dapur.”
“Saya mau rumah ini jadi rumah harapan,” gumam Azizah suatu malam,
saat menyiapkan pesanan bersama Aini.
Tak lama kemudian, kelompok UMKM kecil itu diundang untuk mengisi
stan di festival pangan lokal. Azizah dan beberapa ibu lain bergantian menjaga
stan. Mereka membagikan brosur, menawarkan tester, dan menjawab pertanyaan
pengunjung dengan senyum lebar.
Di tengah acara, datang seorang perempuan muda dengan blazer dan
lencana media. Ia mewawancarai Azizah.
“Bu, apa yang membuat Ibu tetap bertahan, bahkan ketika usaha ini
sempat nyaris tenggelam?” tanyanya sambil menulis cepat.
Azizah menatap sekeliling. Ia melihat ibu-ibu yang tertawa sambil
menghitung kembalian, anak-anak kecil yang membagikan brosur, dan pelanggan
yang berfoto dengan produk mereka.
“Karena saya percaya… bahwa harapan itu bisa digoreng,” jawabnya
ringan. “Seperti ketela ini. Asal sabar, hasilnya bisa renyah.”
Wawancara itu dimuat di media lokal dan dibagikan ulang oleh akun
resmi BAZNAS. Sejak itu, pesanan semakin banyak, dan beberapa instansi mulai
menawarkan kerja sama program pemberdayaan.
Namun Azizah tahu, ia tidak boleh cepat puas.
Suatu malam, ia duduk bersama Aini dan Rasyid, membuka buku catatan besar berisi impian mereka. Di halaman pertama, ada tulisan sederhana:
Impian Keluarga Azizah:
1. 1. Aini kuliah.
2. 2. Rasyid naik haji bareng Ibu.
3. 3. Buka kios oleh-oleh Klethek
Karangwaru.
4. 4. Bangun dapur komunitas gratis
untuk ibu-ibu belajar usaha.
"Bu, kenapa yang nomor dua Rasyid duluan?” tanya Aini sambil tertawa kecil.
Azizah memeluk Rasyid. “Karena dulu waktu Bapak sakit, dia yang
paling sering nemenin Ibu jualan. Ini hadiah buat anak laki-laki Ibu.”
Rasyid tersipu malu. “Kalau aku naik haji duluan, nanti Ibu yang
jadi tamuku di surga ya?”
Mata Azizah berkaca-kaca. Ia hanya bisa mengangguk.
Hari-hari terus bergulir. Klethek Karangwaru kini bukan sekadar nama
produk, tapi simbol kebangkitan perempuan. Setiap bungkusnya menyimpan kisah
perjuangan. Setiap renyahnya menyuarakan keteguhan.
Dalam sebuah rapat kampung, lurah setempat menyebut Azizah sebagai
inspirasi. “Ia bukan hanya membangun usaha, tapi membangun harapan. Dari
Karangwaru, untuk Indonesia.”
Di tengah tepuk tangan warga, Azizah hanya tersenyum. Ia tahu, tepuk
tangan bukan akhir. Perjalanan masih panjang.
Dan selama dapur itu tetap menyala, doa-doa dari Karangwaru akan
terus hidup.
Tahun itu, awal Ramadan tiba dengan angin sejuk yang membawa bau
tanah dan ketela goreng dari dapur Azizah. Ia sibuk menata toples pesanan
takjil dari kelurahan, dibantu oleh Aini yang kini sudah kelas dua SMA dan
sedang libur ujian.
“Mau buka puasa bareng warga kelurahan, Bu? Kata Pak RW, Ibu diminta
jadi narasumber UMKM Ramadan,” kata Aini, menyerahkan undangan kecil dari ketua
RT.
Azizah membaca kertas undangan itu sambil tersenyum kecil. Dalam
hati, ia merasa aneh dulu ia yang minta bantuan, kini ia yang diminta berbagi
pengalaman.
Di acara itu, ia menceritakan bagaimana permodalan dari BAZNAS bukan
hanya menyelamatkan usahanya, tapi juga memberinya semangat untuk menyelamatkan
yang lain.
“Saya bukan pebisnis. Saya Cuma seorang ibu yang mau anak-anaknya
makan dari hasil sendiri, bukan belas kasihan,” ucapnya. “Dan ternyata, niat
sederhana itu bisa menggerakkan banyak.”
Tepuk tangan warga menggema. Bahkan beberapa ibu terlihat menyeka
air mata. Setelah acara, ada yang menghampiri dengan mata berbinar.
“Bu, saya juga mau mulai usaha kecil-kecilan. Tapi saya nggak ngerti
harus mulai dari mana.”
Azizah menggenggam tangan ibu itu.
“Mulai dari dapur sendiri. Lihat apa yang bisa kita olah, lalu
tawarkan. Modal paling utama bukan uang tapi niat.”
Dari obrolan itu, terbentuklah satu kelompok UMKM baru lagi, yang
diberi nama ’Dapur Ramadan Karangwaru’ beranggotakan tujuh ibu rumah tangga
dengan berbagai resep andalan.
Sore harinya, Azizah duduk di beranda rumah, memandang matahari yang
mulai condong ke barat. Aroma masakan menyebar dari dapur tetangga, anak-anak
berlarian sambil membawa bungkus takjil.
Rasyid datang membawa sepeda ontel warisan ayahnya.
“Bu, lihat! Tadi aku dapat piagam dari lomba video kreatif. Aku
bikin tentang perjuangan Ibu!” katanya sambil menunjuk tulisan di piagam:
“Juara Harapan I – Lomba Video Hari Kartini”
Azizah mengambil piagam itu, membacanya perlahan, lalu memeluk
Rasyid.
“Terima kasih, Nak. Ibu nggak pernah minta jadi Kartini, cukup jadi
ibu yang kamu banggakan.”
Malamnya, saat semua tertidur, Azizah menulis di halaman terakhir
buku catatannya:
"Mimpi itu seperti ketela. Ia mungkin tumbuh dalam tanah, diam, tak
terlihat. Tapi bila dirawat dan dipanen dengan kesabaran, ia bisa menjadi
sumber penghidupan yang menguatkan. Dari ketela, aku belajar tentang harapan.”
Beberapa Tahun Kemudian...
Pagi itu, langit Karangwaru cerah, suara burung bersahutan di antara
rerimbunan pohon jambu. Di halaman rumah yang kini lebih luas karena disatukan
dengan warung kecil di sampingnya, Azizah duduk di kursi kayu, menyesap the
hangat. Di depannya, sebuah papan nama tergantung rapi:
”Klethek Harapan – Oleh-oleh Khas Karangwaru”
Dikelola oleh Komunitas Perempuan Mandiri Karangwaru.
Aini kini sudah lulus kuliah, bekerja di LSM yang fokus pada
pemberdayaan perempuan desa. Rasyid duduk di bangku SMA, aktif di
ekstrakurikuler film. Usaha kecil Azizah berkembang jadi koperasi mini,
dikelola secara gotong royong oleh para ibu yang dulu hanya memendam mimpi di
dapur mereka.
Azizah menatap ke kejauhan. Dalam pikirannya, ia kembali ke masa
saat dapur ini Cuma berisi tungku tua, dan ia bingung mencari beras untuk
besok. Masa ketika bantuan dari BAZNAS datang seperti angin segar di tengah
sesak hidup.
Tapi yang paling ia syukuri bukan hanya uang modal, melainkan
kepercayaan bahwa seorang perempuan biasa pun bisa jadi penggerak perubahan.
“Bu, nanti sore ada pelatihan digital marketing dari kampus, ya. Ibu
mau ikut?” tanya Aini, muncul dari dalam rumah dengan laptop di tangan.
Azizah tertawa kecil. “Ibu masih gaptek, tapi ya udah… ibu ikut.
Biar nggak ketinggalan zaman.”
Mereka tertawa bersama.
Moral Akhir:
Dari ketela goreng yang dulu dijual di emperan, Azizah membuktikan
bahwa harapan bisa tumbuh dari hal sederhana. Permodalan bukan akhir dari
kemiskinan, tapi awal dari keberanian. Dan dalam keberanian seorang ibu,
tersembunyi kekuatan untuk mengubah wajah sebuah kampung.
Karangwaru tak lagi hanya nama dusun tapi simbol perjuangan perempuan yang tak kenal lelah membangun masa depan, dimulai dari dapur, dari doa, dan dari niat baik.