- Perkuat Usaha Mustahik, BAZNAS Dukung Cici Lewat Bantuan Freezer untuk Gerai Z-Chicken
- Inovasi Petani Mustahik di Teluknaga: Bukti Peran Strategis BAZNAS dalam Pemberdayaan Umat
- Kurban, Ibadah yang Dianjurkan di Bulan Zulhijah
- Sejarah dan Tujuan Ibadah Kurban Menurut Sejarah Islam
- Bantuan BAZNAS Ubah Nuraena Jadi Mustahik Saudagar Ayam Krispi
- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
Toko Terakhir di Ujung Jalan: Episode 1
Abdullah Azzam

Keterangan Gambar : Ilustrasi AI
Di sebuah kota kecil yang seolah tertelan zaman, berdiri toko tua bernama Toko Terakhir. Tak ada yang tahu siapa pemiliknya. Tak ada papan nama, hanya pintu kayu tua dengan lonceng kecil di atasnya. Orang bilang, toko itu tak pernah benar-benar buka, tapi siapa pun yang masuk, tak pernah keluar dengan tangan kosong.
Suatu hari, seorang pria muda bernama Raka datang ke kota itu. Ia pelancong, pebisnis ambisius yang merasa telah menaklukkan dunia. Kekayaan, wanita, kekuasaan—semua telah ia cicipi. Tapi malam itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, langkahnya terhenti di depan toko itu. Entah kenapa, ia merasa tertarik.
Ia membuka pintu, lonceng berdenting.
Baca Lainnya :
- Dosa yang Menghidupkan0
- Catatan Sedekah Ibu0
- Nasi Uduk Babeh0
- Klethek Harapan dari Karangwaru0
- Kisah Cinta yang Tumbuh di Tengah Reruntuhan0
Di dalamnya, tak seperti toko biasa. Tak ada rak-rak barang. Hanya satu meja, satu kursi, dan seorang lelaki tua berjubah putih duduk tenang. Wajahnya damai, mata teduh menatap Raka.
"Aku ingin membeli sesuatu," kata Raka, mencoba sopan.
"Semua orang datang ke sini untuk hal yang sama," kata pria tua itu. "Tapi yang kujual… hanya dua hal: dunia dan akhirat."
Raka tertawa kecil. "Kalau begitu, aku beli keduanya. Berapa harganya?"
Lelaki tua tersenyum. "Dunia telah kau miliki. Kau tak perlu membelinya. Tapi akhirat… itu berbeda. Untuk memilikinya, kau harus menjual kembali duniamu."
Raka mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
"Berhenti mengejar dunia. Kembalikan apa yang bukan milikmu. Minta maaf pada yang kau zalimi. Bangun malam, bersujud. Hapus ego, siram hatimu dengan iman."
Raka geleng-geleng. "Terlalu mahal."
"Benar. Karena akhirat memang tidak murah."
Bertahun-tahun berlalu. Raka kembali ke kota itu. Kini rambutnya mulai memutih, wajahnya penuh penyesalan. Ia telah kehilangan segalanya: kekayaan, reputasi, bahkan orang-orang yang dulu memujanya. Ia kembali berdiri di depan toko itu, mengetuk pelan.
Pintu terbuka.
Tapi toko itu kini kosong. Tak ada meja. Tak ada kursi. Hanya cermin besar berdiri di tengah ruangan. Saat Raka mendekat, ia melihat dirinya—muda, bersemangat, penuh ambisi. Di atas cermin tertulis kata-kata:
“Kau telah menjual akhirat demi dunia. Kini kau kembali, tapi toko ini hanya menjual kesempatan… yang tak lagi tersedia.”
Raka terjatuh, menangis, menjerit. Tapi tak ada yang mendengar.
Esok harinya, warga menemukan seorang pria tua tergeletak di depan bangunan kosong. Tak ada toko, tak ada lonceng. Hanya sebuah kertas di tangan pria itu yang bertuliskan:
"Aku mencari akhirat di saat dunia telah habis. Kini aku tahu, toko itu hanya buka… ketika hatimu masih hidup."